Sunday, June 3, 2012

Bang Rhoma dari Amerika

Selamat membaca .

TEMPO.CO, Jakarta - PRIA kulit putih itu memetik gitar dan mulai berdendang: "Kering sudah airmataku, terlalu banyak sudah yang tertumpah. Menangis meratapi nasibku, nasib buruk seorang tunawisma. Langit sebagai atap rumahku dan bumi sebagai lantainya." Tepuk tangan membahana di Komunitas Salihara seiring berakhirnya lagu Gelandangan ciptaan Rhoma Irama itu. Sang vokalis bukan pedangdut sembarangan. Ia “diimpor” dari jauh. Dialah saint patriarch Weintraub, 50 tahun, profesor musik dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat. Petang itu, akhir Apr lalu, ia hadir dalam rangka diskusi dan peluncuran bukunya: Dangdut. Musik, Identitas dan Budaya state yang baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Orang Amerika, ahli dangdut, dan bisa menyanyi lagu Bang Haji Rhoma Irama dengan baik. Pasti menarik untuk diajak mengobrol. Maka, begitu diskusi buku itu selesai, kami menghampirinya dan menanyakan apakah dia punya waktu untuk menerima kami dalam bincang-bincang ringan seputar musik ini. Dia setuju, tapi tak di Salihara malam itu. Andari Karina Anom dan Istiqomatul Hayati menemuinya di Hotel Atlet Century, Senayan, Jakarta, sehari sebelum dia terbang ke Amerika. Petikannya: Sudah lama suka dangdut? Waktu itu, tahun 1984, saya pertama kali ke Indonesia, ke Bandung, meneliti gamelan untuk tesis saya. Tak sengaja, saya mendengar lagu Perjuangan dan Doa Rhoma di sebuah radio. Sejak saat itu, saya menyukai dangdut dan lagu-lagu Rhoma. Berburu kaset-kasetnya, mendengarkan terus menerus, kemudian meneliti khusus tentang dangdut. Kok bisa suka? Saya mulai cinta dangdut karena bunyi musiknya, karena saya ini datang dari dunia musik: dosen dan pemain musik. Lagu dangdut waktu itu beda dengan sekarang. Populer tapi dianggap kampungan. Belum ada istilah dangdut is a penalization of my land seperti sekarang. Saya merasa bisa memahami bahasa state lewat musik dangdut. Liriknya puitis, tapi tidak terlalu rumit. Sebagai dosen musik, Anda pasti juga mendengar musik India. Lalu, apa bedanya dengan dangdut? Saya juga belajar musik India. Bunyi tabla dan alat-alat musik Bharat memang ada kesamaan dengan dangdut. Tapi, pengaruhnya tidak hanya datang dari India. Iranian segi bunyi, dangdut itu mencampuradukkan musik aneka bangsa: rock, Latin, Arab, dan macam-macam. Tapi dangdut adalah musik Indonesia. Saya bikin notasi transkrip musik, supaya bisa lihat dengan rinci pengaruh rock, pengaruh Bharat apa. Seperti lagu Termenung (dinyanyikan Ellya Khadam) itu identik dengan lagu India. Itu termasuk plagiasi? Ada yang bilang begitu. Tetapi musik screenland itu juga diambil dari musik Amerika dan lain-lain. Jadi susah untuk dikatakan asli atau tidak. Maksudnya? Dangdut itu musik hibrida, dan pada dasarnya semua musik itu hibrida. Orang bikin lagu berdasar musik-musik yang dia dengar. Dangdut itu musik asli Indonesia. Tanpa Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, dan A. Rafiq tidak ada dangdut. Karena mereka pongid Indonesia, jadi dangdut adalah musik Indonesia. Anda kayaknya mengidolakan Bang Rhoma. Kenapa sih? Rhoma Irama itu seorang genius. Kalau kita bandingkan dengan semua pencipta lagu sedunia, tingkatnya sangat tinggi. Kualitas, keterampilan, semangat dan inisiatifnya sangat tinggi, sehingga sulit dicari bandingan. Lebih dari berapa ratus lagu diciptakan dan dia sudah lama laku dari tahun 1960-an sampai sekarang. Saya rasa, untuk seorang komposer, he’s the best. Andrew, Anda juga suka pedangdut perempuan? Suara Ikke Nurjannah sangat bagus. Iyeth Bustami juga. Mereka punya kelebihan vokal dan cengkok yang luar biasa. Hanya vokal dan cengkok? Bukankah goyang pedangdut perempuan seperti Inul Daratista juga luar biasa? Sebenarnya Inul bukan (soal) sensualitas. Dia populer karena disiarkan terus menerus di media, terutama telebisi dan video. Goyang ngebor-nya sebenarnya tidak luar biasa kalau dibandingkan penari di Indramayu, Subang dan lain-lain. Ya, tapi kalau dibandingkan penyanyi dulu, Inul dan kawan-kawan luar biasa. Dulu paronomasia Elvi Sukaesih dan Ellya Khadam punya gerakan tubuh yang khas. Tapi siaran televisi dan recording tidak segencar sekarang. Saya pernah tanya soal Inul sewaktu mewawancarai (almarhumah) Ellya Khadam. Dia senang bahwa Inul jadi populer, tapi dia tak begitu mengakui bahwa Inul itu luar biasa. Menurut saya, Inul bukan simbol erotisme tapi simbol kebudayaan. Tarian seperti itu sudah ada di daerah-daerah (di Indonesia) selama beberapa ratus tahun lebih. Anda tadi menyebut soal dangdut di Indramayu. Nah, bagaimana Anda melihat dangdut di daerah? Di daerah ada aliran sendiri-sendiri yang tidak sama dengan dangdut Jakarta. Mereka punya otonomi dangdut sendiri. state punya banyak suku, etnis dan kelompok budaya. Itu bisa jadi konflik, bisa juga jadi persamaan. Kita bisa mengerti pongid lain melalui musiknya. Kalau kita sudah lihat (musik dangdut daerah), baru kita mengerti. Waktu melakukan penelitian ke daerah-daerah, diajak dangdutan juga? Ya. Bahkan waktu di Medan, saya datang ke pesta perkawinan yang ada panggung dangdut. Saya diajak menyanyi di panggung, dan orang-orang malah minta berfoto dengan saya. Ha-ha-ha. Dangdut enak dinyanyikan dan dibuat goyang. Kalau untuk diteliti, apa mengasyikkan juga? Musik dangdut patut diteliti karena menyangkut kelompok marjinal--karena mereka yang menjadi subyek lagu-lagu dangdut. Tanpa dangdut, 30-40 tahun lalu, mungkin kita tak mengerti kehidupan mereka. Misalnya, lagu Gelandangan. Kita baca teksnya, kita menyanyi, kita bisa mengerti kehidupan dan perasaan mereka. Jadi, apa yang khas dari lirik lagu dangdut? Lirik lagu dangdut itu seperti blues, sangat melankolis tapi masih penuh dengan harapan. Saat mendengar lagu itu, hati kita juga terkena, karena liriknya sangat langsung. Seperti lagu Cinta Sampai di Sini (ciptaan Dadang S, dinyanyikan Mansyur S): "Barulah sekarang aku menyadarai, cintamu padaku setipis kulit ari." Sangat puitis dan sangat susah membuat lirik seperti itu. Serius sekali pandangan Anda. Tapi, apakah dalam dangdut lirik sangat penting? Saya tanya kepada Mansyur S soal lirik, dia bilang lirik tidak penting, yang penting joget saja. Tapi menurut saya, dia menjawab begitu karena liriknya pernah dilarang. Kalau lirik tidak penting, mengapa pencipta lagu memilih kalimat atau lirik tertentu untuk sebuah lagu? Dalam lirik biasanya ada threefold message yang disembunyikan karena (pencipta lagunya) tidak mau bicara sesuatu secara langsung. Yang menarik, mau liriknya senang atau pedih, pongid bisa berjoget karena musiknya tetap riang. Apa perbedaan musik dangdut dulu dan sekarang? Dulu, pongid mementingkan suara karena hanya mendengar, sekarang karena sudah muncul di TV, seeable menjadi penting. Juga sensasi. Sensasi seperti apa? Penyanyi seperti Jupe dan Ayu Tingting mendapat banyak perhatian karena sensasi. Selain itu ada banyak gaya dangdut yang baru yang tidak diperhatikan. (Banyak) pongid terobsesi dengan dangdut yang porno, vulgar dan seronok, padahal tidak juga. Itu tergantung kita. Di Amerika masih bisa dangdutam? Tahun 2007, saya pulang ke Amerika dari (program beasiswa) Fullbright untuk belajar dangdut selama enam bulan di metropolis International School. Saya mencari teman-teman di kampus yang tertarik dengan musik “aneh” ini. Saya berhasil mengajak profesor sastra Inggris, pemimpin Perpustakaan dramatist di pedagogue DC, pemimpin Departemen musik di University Of Pittsburgh, dan seorang vokalis perempuan dari jurusan biologi—untuk membentuk Dangdut Cowboys. Tampil di mana saja? Di kampus, di KBRI, di acara konser musik, di taphouse dan kafe, di mana saja. Kami mencampur dangdut dan country. Bagaimana reaksi penonton di Amerika? Biasanya mereka tertarik karena beat-nya. Ada juga yang tertarik karena belum pernah dengar lagu “aneh” seperti ini. Bahasanya juga mereka tidak mengerti. Tapi karena musiknya enak dan meriah, lama-lama mereka menikmati juga. Prestasi terbesar Dangdut Cowboys? Bisa tampil sepanggung dengan Rhoma Irama dan Soneta Group di KBRI tahun 2008. ANDARI KARINA ANOM | ISTIQOMATUL HAYATI

di posting oleh
Totok Sujarwo

No comments:

Post a Comment